Otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani yaitu auto dan nomous yang berarti sendiri dan peraturan atau hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah adalah hak kewenangan dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan menurut UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah hak wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Secara garis besar ada 7 isu strategis dari otonomi daerah itu sendiri yang menjadi Main Goal (Tujuan Utama) sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Syakrani dalam bukunya Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif Good Governance, yakni:
Kesejahteraan Penduduk
Pelayanan Publik
Pemberdayaan Masyarakat
Peranserta Masyarakat
Daya Saing daerah
Demokrasi
Pemerataan dan keadilan
Sedangkan menurut UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah hak wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Secara garis besar ada 7 isu strategis dari otonomi daerah itu sendiri yang menjadi Main Goal (Tujuan Utama) sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Syakrani dalam bukunya Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif Good Governance, yakni:
Kesejahteraan Penduduk
Pelayanan Publik
Pemberdayaan Masyarakat
Peranserta Masyarakat
Daya Saing daerah
Demokrasi
Pemerataan dan keadilan
Dari ketujuh isu strategis otonomi daerah tersebut, bisa dirangkum dalam satu perwujudan rill yakni terwujudnya Good Governance (Tata kelola pemerintahan yang baik) sebagai indikator keberhasilan implementasi otonomi daerah itu sendiri. Landasan awal kenapa wacana Good Governance menjadi isu mainstream dalam pelaksanaan dan implementasi otonomi daerah didasari akan beberapa teori yang dikemukakan beberapa ahli yang mengemukakan faktor penyebab runtuhnya peradaban manusia dan negara, contohnya Diamond (2005) dalam bukunya Collapse: How Society to Fail or Survive?. Kegagalan negara (Failed State) tersebut misalnya dilandasi akan kegagalan dalam memberikan pelayanan bermutu, kegagalan dalam penegakan hukum, kegagalan dalam penanggulangan kemiskinan dan lainnya.
Maka dari itu konsep Good Governance menjadi salah satu tawaran logis untuk dijadikan wacana dalam pembangunan tata kelola pemerintahan di Indonesia. Cagin (Dwiyanto, 2002) mengemukakan, konsep Good Governance merujuk pada institusi, proses dan tradisi yang menentukan bagaimana kekuasaan diselenggarakan, keputusan dibuat, dan bagaimana suara rakyat didengar. Indikator keberhasilan pelaksanaan Good Governance dapat dilihat dari kualitas pelayanan publik, partisipasi masyarakat, dan kebijakan pemerintah yang populis ditunjang dengan kualitas dan kapabilitas pejabat publiknya.
Namun disadari atau tidak, konsep terkadang hanyalah normatif semata. Dimana dalam tataran realita tidak bisa sesempurna sebagaimana mestinya. Pun demikian dengan pelaksanaan tata kelola pemerintahan (good governance) di era otonomi daerah dewasa ini. Terdapat beberapa indikasi permasalahan yang mungkin kita semua sudah terbiasa mendengarnya dan telah menjadi rahasia umum di tengah-tengah masyarakat. Penting bagi kami untuk menginventarisir permasalahan-permasalah tersebut sebagai bahan analisa kami untuk memperbaiki dan mencari solusi pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang lebih baik lagi.
Dr. Syakrani dan Dr. Syahriani, dalam bukunya Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif Good Governance dikemukakan beberapa permasalahan yang menjadi hambatan dalam implementasi otonomi daerah dalam konteks tata kelola pemerintahan.
Pertama, institusi pemerintah dinilai lamban beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Permasalahan ini dilandasi dengan berubahnya sistem tata kelola pemerintahan dari sentralisasi di era orde baru ke sistem desentralisasi pasca diberlakukannya otonomi daerah. Pejabat publik dan birokrasi seolah belum siap dengan sistem baru yang diterapkan, budaya sentralis dan patron client di masa orba sangat berbeda sekali dengan pelayanan di era otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas bagi pemerintahan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Kedua, Profesionalisme pejabat publik yang buruk. Ditandai dengan banyaknya kasus pelanggaran kode etik pejabat publik, dimana mungkin kita sering menemui para pejabat publik yang tidak mampu membedakan antara urusan pribadi dan urusan pekerjaan dalam aktivitasnya. Penggunaan inventaris negara untuk kepentingan individu, kemudian banyaknya pejabat publik yang mangkir dari tugasnya dalam jam- jam kerja, dan lainnya. Hal tersebut disebabkan rendahnya kapasitas dan kapabilitas pejabat publik kita dalam melaksanakan tugas profesinya.
Ketiga, pelayanan publik yang buruk. Pelayanan publik yang buruk sudah menjadi kultur dalam pemerintahan kita. Banyak keluhan masyarakat yang sering menjadi permasalahan pelayanan publik diantaranya, berbelit-belit proses administrasi dalam birokrasi kita. Misalnya susahnya dan ribetnya mengurus pembuatan KTP, Akta Kelahiran, dan lainnya. Selain itu, budaya suap dalam pelayanan publik semakin memperburuk struktur birokrasi kita.
Keempat, Kurangnya transparansi pemerintah terhadap masyarakat. Sangat sulit sekali masyarakat untuk mengakses data – data yang ada di pemerintahan, seperti keuangan dan anggaran. Pemerintah tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan program yang telah terealisasi dan penggunaan anggaran kepada publik, karena dalam perspektif pemerintah tabu bagi rakyat untuk mengetahui penggunaan anggaran belanja pemerintah.
Kelima, budaya korupsi yang semakin terdistribusi ke daerah – daerah semenjak diberlakukannya otonomi daerah. Termasuk praktik korupsi dalam lembaga dan institusi pemerintahan. Perburuan rente dan keuntungan pribadi menjadi kebiasaan pejabat publik dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangannya. Misalnya banyak praktik korupsi pejabat pemerintah dalam memainkan tender proyek program – program pemerintah. Korupsi perjalanan dinas, seperti kasus akhir – akhir ini di kabupaten tasikmalaya, dimana fakta mencengangkan bahwa biaya perjalanan dinas Bupati mencapai 902 juta rupiah. Angka yang sangat fantastis untuk sebuah kunjungan dinas dari tasikmalaya ke jakarta. Praktik korupsi ini semakin memperburuk citra pejabat dan institusi pemerintahan kita.
Keenam, keterkaitan pejabat pemerintahan (birokrasi) dalam politik praktis dan sebagai alat mobilisasi massa oleh rezim yang berukasa untuk memenangkan pemilu. Keterlibatan birokrat dalam politik praktis secara prosedural dan kode etik jelas telah melanggar netralitas birokrasi itu sendiri, namun memang potensi politisasi birokrasi menjadi sasaran yang sangat empuk untuk dieskploitasi kepentingan rezim pengusa. Jadi kita sering mendengar, banyak pergantian kepala – kepala dinas pasca pemilihan kepala daerah. Dan biasanya kepala – kepala dinas di bidang strategis sering diisi oleh birokrat yang menjadi pendukung calon kepala daerah yang menang.
Dari keenam permasalahan diatas, akan berdampak buruk terhadap kualitas tata kelola pemerintahan kita. Permasalahan – permasalahan tersebut mungkin kita sering mengenalnya dengan istilah Patologi Birokrasi (Penyakit Birokrasi).
Namun menurut kami, tidak ada kata terlambat untuk membenahi permasalahan yang ada. Banyak upaya yang bisa kita lakukan untuk merevitalisasi tata kelola pemerintahan untuk mewujudkan cita – cita good governance di era otonomi daerah ini. Banyak pendekatan dikembangakan oleh para ahli untuk meningkatkan kualitas good governance, yakni peningkatan partisipasi masyarakat, peningkatan regulasi hukum, transparansi pemerintah, responsiveness, orientasi konsensus, kesetaraan, efektifitas, dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategik.
Selain itu pendapat lain juga dikemukakan oleh Kaufmann dkk (1999) ada lima isu penting yang harus ditingkatkan dalam membentuk good governance, diantaranya:
Voice and accountability
Political stability
Goverment effectiviness
Regulatory quality
Control of corruption.
(ANALISIS
PERMASALAHAN DAN PENYELESAIANNYA)