Masyarakat Melayu Riau terhadap dasarnya terdiri dari dua dua stratifikasi Sosial atau golongan, adalah golongan penduduk ori serta golongan penguasa atau bangsawan kesultanan. Biarpun begitu, struktur sosial orang Melayu Riau sebenarnya longgar serta terbuka bagi kebudayaan lain. Maka tidak sedikit orang Arab & Bugis yg jadi bangsawan.
Wan merupakan gelar bangsawan bagi orang Arab & raja yaitu gelar kebangsawanan orang Bugis. Mereka pula mendapat kedudukan yg teramat tinggi (Sultan Siak serta Sultan-sultan Kerajaan Riau-Lingga). Sedangkan, gelar bangsawan utk orang Melayu merupakan tengku.
Kepada awalnya kepala-kepala suku yg menguasai hutan tanah, “territorial” bernaung di bawah kerajaan Johor. Tapi sesudah Raja Mungil mampu meduduki takhta Kerajaan Johor, terpaksa Keluarga kesultanan meninggalkan Johor & mengakses kerajaan baru di sungai Siak, sehingga kerajaannya disebut “Kerajaan Siak Sri Inderapura”. Dalam keadaan yg baru ini, pembagian golongan dalam warga Riau sejak mulai berlaku.
Jikalau kepada mulanya yg ada cuma kepala suku juga sebagai puncak serta anggota sukunya yang merupakan dasarnya, sehingga dgn adanya Sultan beserta keturunannya, terjadilah tingkatan sosial baru juga sebagai berikut : Raja/Ratu & Permaisuri sbg tingkat tertinggi. Keturunan Raja yg dinamakan anak Raja-raja, yakni lapisan ke-2. Orang baik-baik yg terdiri dari Datuk Empat Suku & Kepala-kepala suku yang lain beserta keturunannya yakni lapisan ke-3. Orang rata-rata atau rakyat umum, yakni tingkatan terbawah.
Adanya tingkatan sosial tersebut mengambil konsekuensi juga dibidang etika istiadat & tutorial pergaulan warga. Semakin tinggi golongannya makin tidak sedikit hak- haknya, sebagaimana; keistimewaan dalam tata baju, ruang duduk dalam upaca-upacara pula menunjukan adanya perbedaan itu.
Kepada perkembangan kekinian, seiring dgn perubahan ketatanegaraan hasilnya beralih pula stratifikasi sosial ini. sekarang ini ketentuan-ketentuan etika ini telah nggak mengikat lagi & terhadap kebanyakan telah disesuaikan bersama alam demokrasi kini. Maka perbedaan golongan tingkat ini telah enggak terlihat lagi dalam pergaulan. Kepada sekarang ini lebih diutamakan kepribadian, kedudukan & keadaan materiel satu orang menurut ukuran saat ini.
Dalam upacara perkawinan misalnya, bagi mereka yg memiliki kapabilitas materiel, mampu memanfaatkan baju serta perlengkapan yg semestinya diperuntukan bagi satu orang Raja atau Sultan. Dalam upacar tradisi yg diadakan saat ini, yg dianggap tinggi merupakan para pejabat pemerintah tepat menurut kedudukannya kini, bukan lagi Datuk-datuk atau Tengku-tengku. Upacara tradisi kini udah berubah fungsinya. Adanya upacara kebiasaan ini cuma sekedar menunjukkan identitas suku bangsanya bersama kejayaannya dgn periode lampau.
Dgn begitu, perkembangan budaya dalam pemahaman nation atau negeri Indonesia hri ini, nggak mengenal kasta, strata, kategori tertentu dalam masyarkat. Perihal ini menunjukkan segi egalitarian bangsa Indonesia dalam menanggapi ragam budaya, dan garis peristiwa yg panjang di masing-masing daerahnya.
Bersama sifat egalitarian ini, amat sangat mengizinkan perbedaan yg ada dapat kita duduk sejajar dalam bermasyarakat walau berasal dari asal usul, golongan atau nenek moyang yg tidak serupa. Serta pentingnya pembelajaran etika & budaya nenek moyang merupakan utk mendalami makna filosofis yg terkandung bukan utk memperdalam jurang pemisaha kebhinekaan kita.