Kementerian BUMN merupakan
transformasi dari unit kerja eselon II Departemen Keuangan
(1973-1993) yang kemudian menjadi unit kerja eselon I (1993-1998 dan
2000-2001). Tahun 1998-2000 dan tahun 2001 sampai sekarang, unit kerja tersebut
menjadi Kementerian BUMN.
Kementerian BUMN memiliki tugas pokok
dan fungsi melaksanakan pembinaan terhadap perusahaan negara/BUMN di Indonesia.
Kementerian BUMN telah ada sejak tahun 1973, yang awalnya merupakan bagian dari
unit kerja di lingkungan Departemen Keuangan. Selanjutnya, organisasi tersebut
mengalami beberapa kali perubahan dan perkembangan.
Dalam periode 1973 sampai dengan 1993,
unit yang menangani pembinaan BUMN berada pada unit setingkat eselon II.
Awalnya, unit organisasi itu disebut Direktorat Persero dan PKPN (Pengelolaan
Keuangan Perusahaan Negara). Selanjutnya terjadi perubahan nama menjadi
Direktorat Persero dan BUN (Badan Usaha Negara). Terakhir kalinya pada unit
organisasi setingkat eselon II, organisasi ini berubah menjadi Direktorat
Pembinaan BUMN sampai dengan tahun 1993.
Selanjutnya, seiring dengan
meningkatnya kebutuhan untuk mengoptimalkan pengawasan dan pembinaan terhadap
BUMN, dalam periode 1993 sampai dengan 1998, organisasi yang awalnya hanya setingkat
Direktorat/eselon II, ditingkatkan menjadi setaraf Direktorat Jenderal/eselon
I, dengan nama Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Usaha Negara (DJ-PBUN).
Mengingat peran, fungsi dan kontribusi
BUMN terhadap keuangan negara sangat signifikan, pada tahun 1998 sampai dengan
2000, pemerintah Indonesia mengubah bentuk organisasi pembina dan pengelola
BUMN menjadi setingkat kementerian. Awal dari perubahan bentuk organisasi
menjadi kementerian terjadi di masa pemerintahan Kabinet Pembangunan VI, dengan
nama Kantor Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN/Kepala Badan
Pembinaan BUMN.
Pada tahun 2000 sampai dengan tahun
2001, struktur organisasi kementerian ini dihapuskan dan dikembalikan lagi
menjadi setingkat eselon I di lingkungan Departemen Keuangan. Namun, di tahun
2001, ketika terjadi suksesi kepemimpinan, organisasi tersebut dikembalikan
lagi fungsinya menjadi setingkat kementerian dengan nama Kementerian Negara
Badan Usaha Milik Negara. Pada tahun 2009, mengikuti perubahan nomenklatur
seluruh kementerian, kementerian ini pun berganti nomenklatur menjadi
Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Pada
masa pemerintahan presiden soeharto merupakan saat paling buruk. Bisa jadi
presiden selanjutnya harus memulai dari nol. Di Negara yang berasaskan
pancasila ini, ternyata memiliki BUMN yang terbanyak di dunia mengalahkan
negara-negara sosialis.
Tekanan
dari Negara begitu besar, padahal pancasila adalah ideologi dan kekuatan tengah
(netral). Pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri, BUMN yang hampir 300 buah
itu harus dikurangi melalui privatisasi.
Privatisasi
adalah menjual perusaahn Negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan Negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban Negara. Strategi privatisasi harus benar. Privatisasi harus
memiliki landasan moral, yaitu jujur dan bijaksana.
Asset
yang ada musti di kembangkan menjadi suatu prudent assets. Dalam hal ini
seharusnya IMF dan bank dunia mesti ikut membangun Indonesia dengan cara
mengubah reckless assets menjadi prudent assets. Seluruh peckless assets yang
ada di BUMN menjadi prioritas uatama untuk di right off.
Seharusnya
pada saat itu megawati soekarno putri tidak mengeluarkan kebijakan untuk
menjual indosat ke tangan asing. Padahal masih banyak BUMN-BUMN seperti garuda,
merpati, panca niaga, yang bisa di jual selain indosat. Sejatinya Negara tidak
perlu ikut usaha seperti biro perjalanan wisata dan berdagang cat. Tidak ada
gunanya bagi kepentingan masyarakat luas.
Tentu
saja ada beberapa BUMN yang harus di pertahankan, terutama pada sector
perusahaan yang bersifat strategis, seperi di sector telekomunikasi (indosat).
Walaupun di jual setidaknya pemerintah harus memiliki minimum 51 persen saham
indosat. Lebih baik lagi bila penjualan indosat tidak di lakukan pada pihak
asing, padahal masih banyak pengusaha-pengusaha Indonesia yang bersedia untuk
membeli saham indosat, selain menjaga informasi, keamanan nasional juga dapat
membantu perekonomian Indonesia yang pada saat itu sedang merosot.
Telekomunikasi
menyangkut hajat hidup orang banyak dan di masa depan peranannya akan semakin
sentral peranannya. Negara juga harus mempertahankan perusahaan minyak, energy
dan gas. BUMN yang lain memang sebaiknya di jual. Penjualan BUMN ini mesti
mendahulukan konsorsium baru kemudian perusahaan multinasional.
Berdasarkan
pemikiran seperti di atas, maka strategi penjualan indosat jelas salah. Mengapa
harus menjual indosat yang notabene adalah perusaah induk? Padahal sebelum itu,
indosat melakukan tindakan tergesa-gesa untuk membeli satelindo yang adalah
anak perusahaannya sendiri.
Akibatnya,
ketika pihak asing membeli indosat, ia sekaligus telah memperoleh anak
perusahaannya. Tidak heran kalau kemudian orang bertanya-tanya apakah ini hanya
suatu strategi yang keliru ataukah ada indikasi penyelewengan.
Walaupun
akan di jual sebaiknya menunggu perekonomian dunia pulih kembali, karena akan
mempengaruhi nilai indosat yang berlipat ganda. Bahkan sepuluh tahun kedepan
dari saat indosat di jual, indosat akan bernilai seratus triliun.
Pernyataan di atas ini menimbulkan
pertanyaan, pertanyaan seperti ini menandakan bahwa selama ini distribusi
keadilan untuk mensejahterakan rakyat khususnya di bidang ekonomi selama ini
menimbulkan banyak kecurigaan. Keadilan bukan persoalan khas indonesia.
Keadilan merupakan persoalan sepanjang jaman. Seperti di ungkap filsup besar Yunani,
Aristoteles, bahwa ada dua jenis keadilan. Pertama, keadilan distributif yang
bisa di rasakan semua orang. Kedua, keadilan asosiatif, yakni keadilan yang
bisa di rasakan oleh prestasi tertentu, atau karena ada sebab-sebab lain).
Bagi masyarakat Indonesia pun, keadilan
merupakan sesuatu yang penting untuk diusahakan dan di wujudkan. Terbukti dari
sila ke-lima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” menjadi tujuan
utama bangsa kita.
Itulah cita-cita luhur para Bapak
Bangsa ketika Pancasila di lahirkan oleh
Bung Karno, 1 juni 1945. Bangsa ini lahir dan merdeka karena hendak menciptakan
keadilan bagi seluruh warganya. Sebuah keadilan yang mencakup segala hal, mulai
keadilan ekonomi, keadilan beragama, keadilan hak, keadilan peluang dan keadilan
tanggung jawab.
Hasil ekonomi yang maksimal hanya bisa
di rasakan kenikmatannya oleh para elit politik dan elit eksekutif. Di lengkapi
oleh kroni penguasa yang brmerek konglomerat. Keadilan yang sifatnya berada di
berbagai sektor, memang hanya untuk elit belaka. Kemakmuran sebagai bagian
utama dari sila ke-lima pun, sekitar 80 persen adalah milik para elit. Rakyat
hanya bisa berbagi serpihan roti. Padahal, keinginan ‘keadilan’ pada sila
termaktub itu, milik semua rakyat secara merata.
Oleh :
Nama : Ragga Sukma H
Npm : 113507017