PENGARUH GOLONGAN PUTIH (GOLPUT) TERHADAPPEMILIHAN KEPALA DESA (PILKADES)DI DESA CIMERAK KECAMATAN CIMERAKKABUPATEN CIAMISProposalDiajukan guna memenuhi sayarat Ujian Tengah Smester (UTS) mata kuliahMetode Penelitian KualitatifDisusun Oleh :Agus sudrajat113507020FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS SILIWANGITASIKMALAYA2013BAB IPENDAHULUAN11.1 Latar Belakang MasalahSetiap pelaksanaan pemilu, baik pemilu legislatif, Pilpres ataupun pemilu kepala daerah (Pilkada) selalu diwarnai dengan munculnya golongan putih atau Golput. Entah kenapa golongan yang satu ini selalu menjadi Sosok yang mengkhawatirkan dan menakutkan. Disebut mengkhawatirkan karena golongan ini dinilai sosok yang tidak mendukung pesta demokrasi yang sudah berjalan puluhan di negeri ini.Pada Pilkada di sejumlah daerah Golput dinilai sebagai pemenang pilkada. Di Jawa Timur contohnya, jumlah Golput mencapai 40,42 persen. Sedangkan pada pilkada Sumatera Utara jumlah Golput terus meningkat mencapai 43 persen. Golput mencatat angka terbesar pada pilkada di Kalimantan Timur yang mencapai 50persen. Terlepas dari siapa sebenarnya sosok Golput tersebut, ada baiknya kita mempertanyakan kembali kenapa banyak warga yang enggan menyukseskan pilkada? Jawabannya tentu beragam. Yang paling general adalah bahwa masih banyak warga yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu ataupun pilkada.Bagi pemerintah dan penyelenggara pemilu atau pilkada, Golput juga harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara. Pada pemilu mendatang tentu saja pemerintah berharap jumlah Golput bisa terus menipis. Namun harapan itu tentunya mesti dibarengi dengan sikap pemerintah yang bisa menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil.Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat, yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi. Semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu.Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum secara reguler, yaitu Pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi. Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia, Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih, dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. dengan penyelenggaraan Pilkada sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5%.Potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik. Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.Banyak pandangan tentang pilihan Golput tersebut dan semakin banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau disebut kelompok golput. Setidaknya ada beberapa hal penting tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya dengan baik. Pertama, pilihan untuk tidak memilih (golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja dan APB daerah (untuk pilkada). Kedua, golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai. Artinya, calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang golput, Ini mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa bahwa ia pilihan “rakyat” dan bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Justru hal ini menjadi bumerang bagi golput. Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah golput yaitu : yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan budaya golput.Maka dari penjelasan di atas, masyarakat golongan putih terbagi atas dua bagian, yaitu masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan dan masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan. Dalam hal ini penulis akan meneliti masyarakat golongan putih yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu di tingkat desa. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu di tingkat desa. Mana penjelasan yang lebih cocok untuk fenomena ini, hal ini menjadi latar belakang peneliti untuk fenomena golput sehingga dapat mengetahui apa yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Faktor-faktor apa sajakah yang menimbulkan perilaku ini yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini.Pilkades secara langsung pada tanggal 25 November 2012 tahun lalu berlangsung di desa Cimerak Kecamatan Cimerak kabupaten Ciamis. Desa Cimerak yang merupakan salah satu desa di kecamatan Cimerak melaksanakan pilkades secara langsung. Dalam hasil pemilihan, ternyata masih didapati jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pilkades yaitu sekitar 37%. Padahal jumlah suara yang tidak ikut memilih cukup besar dan sangat berpengaruh pada hasil pilkades tersebut.11.2 Rumusan MasalahDengan adanya demokrasi rakyat bebas menentukan pilihannya untuk memilih pemimpin seperti apa dan mau hidup seperti apa.Dari pernyataan diatas, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :“Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Munculnya Golongan Putih di Desa Cimerak Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis pada Pilkades 2012.”11.3 Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah untuk :Mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi Munculnya Golongan Putih di Desa Cimerak Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis pada Pilkades 2012.1.4 Manfaat PenelitianSedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:1. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui karya ilmiah dan sebagai penerapan dari berbagai teori yang penulis dapatkan selama dalam masa perkuliahan.2. Memberikan bahan masukan kepada pengambil kebijakan Pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan perilaku pemilih.3. Menambah wawasan pembaca terhadap perilaku golput dalam PILKADES, juga dapat digunakan untuk kajian akademik terutama Jurusan Ilmu Politik dalam memprediksi kemenangan calon pilkades.4. Untuk menambah referensi mengenai Golongan Putih.BAB IIKERANGKA TEORI
Secara umum
pendekatan perilaku pemilih dalam ilmu politik terbagi ke dalam tiga garis
besar pendekatan atau model. Pertama, pendekatan yang sangat psikologis
yang disebut identifikasi partai (party identification). Kedua, pendekatan
yang menganggap individu memiliki kapasitas rasional untuk menentukan
pilihan-pilihannya (rational choice). Pemilih dianggap memahami, mengapa
ia memilih, apa dampak dari pilihannya itu dan ia sadar betul pilihan yang
diambil adalah instrumen penting bagi artikulasi kepentingan politiknya. Lalu
pendekatan yang terakhir adalah pendekatan secara sosiologis (sociological
approach). Pendekatan ini melihat pentingnya basis sosial dalam menentukan
perilaku memilih. Misalkan, identitas sosial seperti agama, kelas sosial, dan
suku bangsa menjadi alasan utama seseorang memilih sebuah partai atau seorang
kandidat. Sekarang mari kita bahas secara singkat pendekatan-pendekatan
ini, dan memutuskan mana yang paling mungkin untuk menjelaskan fenomena
PILKADES.
Pendekatan party
identification menekankan pentingnya keluarga dalam sosialisasi politik
terhadap anak, hingga mentransmisikan apa yang disebut dengan psychological
attachment (kedekatan psikologis) antargenerasi. Pendekatan antar
generasi yang dimaksud adalah nilai-nilai kesetiaan terhadap partai politik,
figur yang akan diwariskan orang tua kepada anaknya, usia anak yang masih belia
sampai dewasa akan selalu dijejali informasi politik yang dianut oleh orang
tuanya. Sehingga ketia dewasa kelak, si anak akan berperilaku memilih dan
pilihan politik demikian.
Sementara
itu pendekatan rational choices menganggap pemilih merupakan individu
bebas. Individu memilih bukan karena adanya kedekatan psikologis dengan calon
atau partai tertentu. Seseorang menentukan pilihan politiknya tidak berdasarkan
latar belakang keluarga, budaya maupun kelas sosial di mana dia berada.
Pilihan-pilihan politik tersebut murni sebagai pencerminan kepentingan
pribadinya. Seluruh pemilih dalam pendekatan ini dianggap memahami benar makna
pilihannya dan dampaknya bagi dirinya. Masalahnya, pendekatan ini hanya mampu
memahami individu dengan ukuran-ukuran tertentu. Misalnya, si pemilih harus
berpendidikan tinggi, tingat ekonomi yang mumpuni dan sebagainya. Pra-syarat
ini sepertinya yang harus dipenuhi terlebih dulu, jika ingin menganggap
individu menjadi rasional dalam memilih.
Pendekatan
sosiologis melihat pentingnya basis sosial seseorang di masyarakat. Basis
sosial diartikan beragam, misalnya mulai dari agama, suku, dan kelas sosial
yang dimiliki seseorang. Kalau saya sebagai pemilih, maka pendekatan ini akan
memulai analisanya dari faktor-faktor tersebut. Sebagai contohnya, kalau saya
beragama Islam, maka ada kemungkinan besar saya akan memilih partai Islam.
Ian Mc Allister (1992) dalam
bukunya, Political Behaviour: Citizen, Parties, and Elites in Australia,
mencatat ada perilaku pemilih Australia yang konsen pada faktor struktural
(memilih berdasarkan kedekatan kelas sosial-ekonomi, desa-kota,) dan faktor
ekologi (memilih berdasar pada kedekatan karakterisik wilayah pedalaman,
pesisir, pertanian, perkebunan.
Unsur penelitian yang paling besar
peranannya dalam penelitian adalah teori karena dengan unsur inilah peneliti
mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat
perhatiannya. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan
proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar konsep.
Oleh karena itu, dalam kerangka teori ini penulis akan
memaparkan teori-teori yang merupakan landasan berpikir dalam menggambarkan
masalah penelitian yang sedang disoroti. Teori-teori yang relevan dengan
masalah penelitian ini antara
lain:
22.1 Partisipasi
Politik
Partisipasi merupakan salah satu
aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga
masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif
maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Wahyudi Kumorotomo mengatakan, “Partisipasi
adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan
adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dan warganya.”
Partisipasi adalah kegiatan warga
yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi
atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai
atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.” Lebih
jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara
dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan
(electoral participation), kedua, partisipasi kelompok (group participation),
ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah (citizen government
contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung.
Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan
dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi
kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga
negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif
kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan
saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut srta
dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.
b.
Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi
kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati
peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan
pemerintah.
Selain kedua bentuk partisipasi
diatas tetapi ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem
politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa yang dicita-citakan
sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang yang tidak ikut
dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan
anomie.
a.
Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak
punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau
gejala-gejala.
b.
Sinisme menurut Agger diartikan sebagai kecurigaan
yang busuk dari manusia, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan
yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik
dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.
c.
Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan
seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir
mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk
orang lain tidak adil.
d.
Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu
perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu
mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap
tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya
urgensi untuk bertindak.
Maka dengan tidak adanya perangsang
politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang
semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan
bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat
politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan
politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative
kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama
sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi
dan kebutuhan material individu itu.
22.2 Masalah
Golput
Menjelang pemilihan umum tahun 1977
timbul suatu gerakan di antara beberapa kelompok generasi muda, terutama
mahasiswa, untuk memboikot pemilihan umum karena dianggap kurang memenuhi
syarat yang diperlukan untuk melaksanakan pemilihan umum secara
demokratis. Yang disebut antara lain ialah kurang adanya
kebebasan-kebebasan (civil liberties) yang merupakan prasyarat bagi suatu
pemilihan yang jujur dan adil. Untuk melaksanakan sikap ini mereka bertekad
untuk mengunjungi masing-masing tempat pemilihan umum (TPS). Mereka menamakan
dirinya Golongan Putih atau Golput.
Banyak media massa kemudian mempunyai keinginan untuk mengukur pengaruh dari
Golput ini atas pemilihan umum. Perlu diperhatikan bahwa ada beberapa kategori
pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua kategori
yang relevan, yaitu kategori suara tak sah dan kategori yang tak menggunakan
hak pilih. Dalam banyak media massa dua kategori ini dijadikan satu, dan Golput
dinyatakan termasuk didalamnya. Pengelompokan itu memang menghasilkan angka
yang cukup tinggi yaitu 6,6% (1971), 9,1% (1977), 8,5% (1982), 8,7% (1987), dan
9,1% (1992).
Pandangan ini dapat diragukan kebenarannya karena secara teoritis Golput tidak
termasuk kategori suara tidak sah, kecuali diantara mereka ada yang dengan
sengaja merusak kertas pemilihan. Lebih besar kemungkinan Golput termasuk
kategori yang tak menggunakan hak pilih. Jumlah kategori ini (termasuk golput)
adalah 0,7% (1971), 3,5% (1977), 4,8% (1982), 3,8% (1987), dan 4,9% (1992)
jelas lebih rendah.
Mengenai kategori tidak menggunakan
hak pilih perlu disadari bahwa kategori ini sukar dihitung karena tidak hanya
mencakup Golput namun juga menyangkut orang yang tidak datang ke TPS karena
sakit, atau sedang dalam perjalanan, atau yang tidak perduli. Sekalipun
demikian, harus diakui bahwa angka dari mereka yang “tak menggunakan hak pilih”
dalam pemilihan umum 1977 dan pemulihan umum berikutnya, menunjukan kenaikan
dibanding dengan hasil pemilihan umum 1971. Bagaimanapun juga Golput telah
menunjuk pada salah satu kelemahan dari rezim Orde Baru dan hal itu patut
dihargai.
22.3 Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Munculnya Golput
1. Faktor Sosial Ekonomi
Menempatkan variabel status
sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan perilaku non-voting
selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi, variabel status sosial ekonomi
memang dapat diletakkan sebagai variabel independen untuk menjelaskan perilaku
non-voting tersebut.
Namun, pada sisi lain, variabel tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator
untuk mengukur karakteristik pemilih non-voting itu sendiri.
Setidaknya ada empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel status
sosial ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan dan
pengaruh keluarga. Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi digunakan
untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan proporsi yang
berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat
digunakan untuk menjelaskan perilaku non-voting. Artinya, jika tinggi
tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat
pendidikan berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih.
Ada beberapa alasan mengapa tingkat status sosial-ekonomi berkorelasi
dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih, yaitu :
a.
Pekerjaan-pekerjaan
tertentu lebih mengahargai partisipasi warga.
Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga
sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung
lebih tinggi tingkat kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang bekerja
pada lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan langsung
dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Para pegawai negeri atau pensiunan,
menunjukkan tingkat kehadiran memilih lebih tinggi dibanding dengan yang lain.
b. Tingkat
pendidikan
Tingkat pendidikan dapat dikatakan turut mempengaruhi
perilaku pemilih masyarakat di desa Cimerak Kecamatan Cimerak. Faktor
pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, sebab
pendidikan sebagai suatu kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang
dalam menganalisa teori serta mampu untuk menentukan keputusan dalam
persoalan-persoalan untuk mencapai tujuan menjadi faktor yang penting bagi
masyarakat sebagai pelaku partisipasi aktif dalam pemilihan.
c.
Pengaruh
Keluarga
Keluarga juga memberikan pengaruh yang cukup besar
pada masyarakat desa Cimerak Kecamatan Cimerak dalam hal tidak ikut memilih
pada Pilkades, kuatnya pengaruh pimpinan keluarga (ayah) dalam menentukan
pilihan politik keluarga. Secara umum apabila kepala keluarga (ayah) tidak ikut
memilih akan memberikan pengaruh kepada anggota keluarga lainnya untuk tidak
ikut memilih.
2. Faktor Psikologis
Penjelasan nonvoting dari faktor
psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi
kepribadian. Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku
nonvoting disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran,
otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai
tanggung jawab secara pribadi, dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian
yang tidak toleran atau tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang
diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan
kepentingan peroragan secara langsung, betapapun mungkin hal itu menyangkut
kepentingan umum yang lebih luas. Dalam konteks semacam ini, para pemilih
yang mempunyai kepribadian tidak toleran atau tak acuh cenderung menarik diri
dari percaturan politik langsung, karena tidak berhubungan dengan
kepentingannya. Ciri-ciri kepribadian ini umumnya diperoleh sejak lahir bahkan
lebih bersifat keturunan dan muncul secara konsisten dalam setiap perilaku. .
3. Faktor Pilihan Rasional
Faktor pilihan rasional melihat kegiatan
memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak
hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil
yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada.
Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri
untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih,
pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai
dan kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih
atau tidak ikut memilih. Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah
pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan
oleh ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa
saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada
variabel-variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik
seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi
pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih bukan hanya
pasif melainkan juga individu yang aktif.
22.4 Perilaku
Golongan Putih (Golput)
Istilah
golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971.
Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius
Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan
bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak. Bukan
hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok putih yang tidak memilih, mereka
bahkan mengajukan tanda gambar segilima hitam dengan dasar putih. Namun pemilu
1971 menurut versi pemerintahan, diikuti oleh 95 persen pemilih.
Satu hal yang mencuat dari
kemunculan fenomena golput adalah merebaknya protes atau ketidakpuasan kelompok
masyarakat tertentu terhadap tidak tegaknya prinsip-prinsip demokrasi atau
penentangan langsung terhadap eksistensi rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.
Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga bayangan kekuatannya
diidentikkan sebagai partai keempat, di samping PPP, Golkar dan PDI. Namunn
jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi pemerintah, di atas 90
persen, persisnya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29 Mei 1997, Ketua Umum
Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati
Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak menggunakan hak
politiknya untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap sebagai kampanye
terselubung kepada massa pendukungnya untuk memboikot pemilu, meski hal itu dibantah
Megawati. Meski ada aksi PDI Perjuangan itu, jumlah pemilih pada Pemilu 1997
dilaporkan mencapai 90,58 persen.Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit
dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara
penggunaan hak pilih.
Apabila pemilih umumnya menggunakan hak
pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan
di luar kontrolnya, kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu
gambar partai. Kedua ,menusuk bagian
putih dari kartu suara. Ketiga, tidak
mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi
mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam
kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara Angka 90 persen itu memang
diakui merupakan angka semu. Karena pemilu-pemilu zaman Soeharto-disebut banyak
pihak-identik dengan kecurangan demi untuk memenangkan Golkar. Angka adalah
bagian dari rekayasa yang sangat menentukan dan bertanggungjawab dengan
menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya
membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu.
Jadi berdasarkan hal di atas, golput
adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas
menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang
berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis,
seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari
kategori golput. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput
bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang
jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya
memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil
kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.
menurut Novel Ali, di Indonesia
terdapat dua kelompok golput. Pertama,
adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya
bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan
sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis,
melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah kelompok golput
pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu
benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas
partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi
politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu
atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis
politik mereka jauh lebih tinggi disbanding golput awam. Golput pilihan ini
memiliki kemampuan analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat
deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.
2.5 Fenomena Golongan Putih dan
Pengaruhnya Terhadap Kesuksesan Pemilihan Kepala Desa Di Desa Cimerak Kecamatan
Cimerak Kabupaten Ciamis
Golput (non-voting behaviour)
dipahami sebagai bentuk partisipasi politik warga negara yang muncul karena
beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right) politik warga negara yang by
its nature mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act), yang
mengandung kebebasan pemilik hak itu untuk menggunakan atau tidak
menggunakannya.
Karena esensi filosofis inilah maka
demokrasi memberi ruang bagi pilihan untuk golput secara setara dengan pilihan
untuk memilih. Golput diberi ruang dalam demokrasi, guna meluruskan demokrasi,
meluruskan politik dan pemerintahan yang korup melalui gerakan moral. Bagi
kalangan pendukung golput, golput diancangkan sebagai gerakan check and
balances yang dalam demokrasi dibutuhkan.
Disisi lain, eskalasi golput juga
sangat menghawatirkan perkembangan demokrasi yang berkualitas karena merosotnya
kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi
politik. Kehawatiran ini juga dikemukan Anthony Giddens “haruskah kita menerima
lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang
marak”. Demokrasi identik dengan kebebasan dan partisipasi dari semua kekuatan
demokrasi. Kekuatan demokrasi dimaksud di dalamnya termasuk masyarkat, selain
juga partai politik dan organisasi masyarkat.
Partisipasi politik yang meluas
merupakan ciri dari modernisasi politik. Sikap dan persepsi bagian penting dari
pesta demokrasi. Maka tingginya angka golput menandakan sistem politik dan
sistem pemilu yang sedang dijalankan belum berada dalam ruang demokrasi
sesungguhnya. Huntington dan Nelson memaknai partisipasi politik sebagai:
partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
Pemerintah.
Partisipasi biasa bersifat
individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik,
secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak
efektif. Dengan demikian, partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan
politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak
suara atau kegiatan politik lain (golput) yang dipandang dapat mempengaruhi
pembuatan kebijakan politik oleh pemerintah. Partisipasi politik tidak mencakup
kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional
yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.
Sementara Budiardjo memaknai
partisipasi politik sebagai Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan
negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan
Pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau
kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau dengan
anggota parlemen, dan sebagainya. Merujuk pemikiran politik tersebut dalam
konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara
empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di
Indonesia.
Penilaian Hantington dapat
menjelaskan dengan cermat tentang hal tersebut yang menyatakan: “Beberapa studi
secara eksplisit tidak menganggap tindakan yang dimobilisasikan atau yang
dimanipulasikan sebagai partisipasi politik, yaitu lebih menekankan sifat
sukarela dari partisipasi dengan argumentasi bahwa menjadi anggota organisasi
atau menghadiri rapat-rapat umum atas perintah pemerintah tidak termasuk
partisipasi politik”. Lebih lanjut Hantington membedakan partisipasi politik ke
dalam dua karakter, yaitu:
a. Partisipasi yang demokratis dan
otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela
b. Partisipasi yang dimanipulasi,
diarahkan, dan disponsori oleh pemerintah adalah bentuk partisipasi yang
dimobilisasikan.
Tingginya angka golput dapatlah
dirumuskan bagian dari kesadaran perilaku politik. Dalam tahapan demokrasi
elektoral atau demokrasi prosedural, golput adalah manifestasi politik, dimana
rakyat tidak berpartisipasi politik secara sukarela dalam pemilihan umum
sebagai pesta demokrasi. Secara faktual fenomena golput tidak hanya terjadi di
negara demokrasi yang sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam
berdemokrasipun juga menghadapi fenomena golput, seperti di Amerika Serikat
yang capaian angka partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%,
begitu pula di Perancis dan Belanda yang angka pencapaian partisipasi politik
pemilihnya berkisar 86%. Karenanya fenomena Golput menjadi pembelajaran bagi
partai politik dan penguasa untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mesin kerja
demokrasi yang efektif dan memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good public
governance.
Golput akan mengkristal menjadi
faktor internal demokrasi yang potensial menimbulkan pembusukan demokrasi atau
pembusukan politik, sehingga akan berimplikasi melumpuhkan demokrasi, dimana
partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik dalam demokrasi
secara moral ikut bertanggungjawab. Kiranya perlu mendapatkan apresiasi dan
solusi oleh para aktor-aktor pemerintahan agar pesta demokrasi lebih efisien
dan berkualitas secara sistemik, baik dalam tataran input, process, dan output,
dan malah bukan bersifat kontra produktif dalam berdemokrasi.
Bagaimanapun juga golput merupakan
bagian dari indikator keberhasilan pemilu yang demokratis. Artinya kehadiran
golput justru mendorong peningkatan kualitas proses dan bangunan demokrasi itu
sendiri. Dengan demikian, golput dapat diletakkan bagian dari gerakan sosial
yang menghendaki adanya perubahan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Salah satu pendekatan teori-teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan
sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi
perubahan sosial.
Berdasarkan kuisioner yang telah
dibagikan kepada informan, angka Golput pada pemilihan kepala desa di Desa Cimerak
Kecamatan Cimerak mencapai angka 37% yaitu 1002 penduduk dari jumlah penduduk
terdaftar yaitu sebanyak 2703 penduduk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh penulis, fenomena golput yang terjadi di desa Cimerak terjadi karena
mereka dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan dengan tujuan yang jelas
menolak memberikan suara dalam pilkades. Mereka tidak memilih karena ada alasan
politik yaitu karena mereka tidak puas dengan kualitas kandidat yang ada. Dan
ada juga yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya karena menginginkan
sosok pemimpin baru yang benar-benar dapat mereka percaya untuk membangun
masyarakat.
Masyarakat memilih golput pada
pilkades di desa Cimerak karena dilatar belakangi oleh faktor Sosial-Ekonomi
yaitu faktor pendidikan. Faktor pendidikan merupakan hal yang sangat penting
untuk diperhatikan, karena semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh
seseorang, maka semakin tinggi pula kemampuan seseorang untuk menganalisa
informasi tentang politik dan persoalan-persoalan yang bersangkutan serta
mampu untuk menentukan keputusan dalam berpolitik.
Prosentase golput pada pemilihan
kepala desa di desa Cimerak yang mencapai 37% berpengaruh pada perolehan
suara., yaitu calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya
mempunyai basis massa sedikit. Ini tentu mengakibatkan legitimasi kekuasaan
calon terpilih berkurang. Dalam pemilihan secara langsung yang telah
dilaksanakan, maka calon terpilih merasa bahwa ia adalah pilihan rakyat dan
keadaan seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan calon terpilih
menyalahgunakan kewenangannya.
2.6 Gambaran
Umum Obyek Penelitian
Di lihat dari faktor demografi Desa Cimerak memiliki
komposisi penduduk berjumlah 2.703 jiwa, yaitu penduduk laki-laki
terdiri dari 1.502 jiwa dan penduduk perempuan 1.201 jiwa.
Penduduk Desa Cimerak sebagian besar bermata
pencaharian sebagai petani, hal ini dikarenakan faktor geografis yang memadai
untuk mengembangkan hasil pertanian. Padi sebagai produk unggulan desa Cimerak
menjadi prioritas pemerintah desa untuk terus ditingkatkan kualitasnya.
Disamping penduduk berprofesi sebagai petani, ada juga yang menggeluti bidang
usaha lain seperti pedagang, PNS, dan usaha dibidang Jasa.
Pelaksanaan pemilihan Kepala Desa Cimerak langsung
pada tanggal 25 November 2012. Dan pada tahap pendaftaran sampai penutupan
tercatat ada 4 orang calon yang mendaftarkan diri yaitu Bpk. Empud, Bpk.
Sopandi, Bpk. Ikin, dan Bpk. Soleh Dari data tersebut nampak nya suara
masyarakat akan banyak terpecah mengingat banyaknya pilihan calon kades.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Metode penelitian deskriptif dapat
diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga,
masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan
menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami
dan disimpulkan.
Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk
membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan
sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga
menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan
untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab
persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah
penelitian kualitatif.
3.2 Lokasi
Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Desa Cimerak
Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis.
3.3 Sasaran
Penelitian
Sasaran penelitian ini
adalah seluruh masyarakat di desa Cimerak kecamatan Cimerak kabupaten Ciamis
3.4 Fokus Penelitian
Fokus penelitian adalah tingkat golongan putih pada
pemilihan Kepala Desa di desa Cimerak Kecamatan Cimerak Kabupaten Ciamis.
3.5
Pendekatan Dalam Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan rational choices. Miriam Budiarjo
3.6 Penentuan Informan/Teknik Penetapan
Sample
Informan diambil dari sebagian warga desa Cimerak yang
memilih golput pada pemilihan kepala desa di desa Cimerak Kecamatan Cimerak
Kabupaten Ciamis.
3.7 Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan
maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan
langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan.
Studi lapangan yang dilakukan dengan dating langsung ke lokasi penelitian
dengan cara menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan
sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban
yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan.
b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber
data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang
berkaitan dengan penelitian ini.
3.8 Teknik Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun,
dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi
dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara
mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah
yang diteliti.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiardjo,
Mirriam. (1996). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.
Sukarna.
(1981). Sistem Politik. Bandung : Penerbit Alumni.
Ali, Muhamad. (2001). Representasi
dan Partisipasi Politik. Media Indonesia
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/partisipasi-politik.html