BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belaankg
Masalah
Jika kita mendengar kata ‘birokrasi’
maka langsung yang ada dalam benak pikran kita adalah bahwasanya kita
berhadapan dengan suatu prosedur yang berbelit-belit, ialah aturan dari satu
meja ke meja yang lainya. Yang ujung-ujungya adalah biaya yang serba mahal.
Pada dasarnya pendapat demikian tidaklah dapat disalahkan seluruhnya, namun
dengan demikian apabila orang-orang yang duduk dibelakang meja taat pada
prosedur dan aturan serta berdisiplin dalam menjalankan tugasnya, maka
birokrasi akan berjalan dengan lancar dan ‘biaya tinggi’ akan dapat
dihindarkan.
Menganalisis dari kenyataan birokrasi di
Indonesia memang sangat tidak relefan dengan arti bahwa birokrasi itu sebagai
pelayan publik. Artinya birokrasi itu itu ada bukan untuk menyulitkan dalam
pelayan terhadap masyarakat. Justru dengan adanya birokrasi sebagai dari
pelayan publik maka seluruh permasalahan yang berkaitan dengan administrasi seperti
pembuatan KTP, SIM, dan lain sebagainya itu akan berjalan dengan efektif
apabila pekerja-pekerja birokrat’nya mentaati pada aturan dan prosedur.
Memang saat ini masyarakat sudah mulai
tidak menaruh kepercayaan lagi terhadap birokrasi karena memang melihat para
pelayan publiknya terlalu banyak mempolitisasi berbagai kepentingan didalamnya.
Seharusnya birokrasi itu sebagai pelayanan mesti bersikap netral tanpa harus
ada berbagai kepentingan bermain didalamnya sehingga pelayanan berujung pada
biaya serba mahal.
Untuk dapat mengembalikan kembali
kepercayaan masyarakat sekaligus untuk memperbaiki kinerja pelayan publik salah
satunya haruslah menegaskan sebuah aturan yang bijak. Seperti lebih menekankan
kepada kode etik birokrasi sehingga apabila salah satu dari pelayan publik ada
yang tidak mentaati peraturan itu akan dapat dikenakan sangsi.
Terlebihnya haruslah ditekankan juga
pada tegasnya peminpin-peminpin didalamnya. Sehingga mereka akan lebih taat
kepada pimpinan yang mengeluarkan kebijakan yang lebih memperioritaskan kepada
publik bukan kepada kepentingan pribadinya.
Maka dengan demikian apabila semuanya
telah dapat menyadari kepada aturan dan prosedur maka birokrasi pun sebagai
pelayan publik akan dapat lebih mendahulukan kepada sisi efisiensi pelayanan
yang baik kepada masyarakat sehingga semua permasalahan akan dapat teratasi
secara cepat dan baik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
diuraikan maka dapat dirumuskan satu permasalahan sebagai dari bagian untuk
menguriakan pada bab selanjutnya berikut adalah rumusan masalah yang dijadikan
sebagai poko pembahasan :
Ø Apakah
dengan berlakunya kode etik kinerja birokrasi akan dapat lebih baik ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah
yang telah disebutkan sebelumnya, maksud dari tujuan penelitian karya tulis ini
ialah :
Ø Untuk
memberikan gambaran tentang kode etik sebagai dari aturan untuk dijadikan
landasan dalam memperbaiki kinerja birokrasi
Ø Untuk
mengetahui bagaimana hasil dari adanya kode etik dalam birokrasi tersebut
terhadap pemberian pelayanan kepada publik
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Permasalahan tentang birokrasi
bukanlah sesuatu rahasia khusus lagi, akan tetapi masyarakat pun sudah
mengatahuinya. Dengan demikian konsep birokrasi seringkali masyarakat
menyebutkan bahwa birokrasi itu adalah hal yang keliru. Masyarakat mengangap
demikian karena mungkin masyarakat tidak mengetahui secara betul apa makna yang
terkandung dari birokrasi esensi sebenarnya mereka tidak memahami, birokrasi
sendiri menurut saya pada dasarnya adalah hal yang sangat baik serta efisien
dalam hal pemberian peleyana terhadap publik, akan tetapi yang menjadikan
pelayanan itu menjadi berbelit-belit sehingga ujung-ujungnya bermuara pada uang
itu adalah hanyalah sebagian dari oknum birokrat saja. Definisi dari birokrasi
menurut para ahli ialah sebagai berikut :
Machiavelli, misalnya. Dalam nasihatnya
kepada pangeran. Meminta pangeran memilih menteri yang cakap dan mengkaji
mereka agar mereka tidak mencari sumber penghasilan lain. Bahkan ide tentang
pemerintah yang efisien, sangat akrab di Cina jauh sebelum masehi. Diantaranya
ide tentang senioritas, sistem ‘merit’ statistik resmi dan laporan tertulis
dipraktikan secara luas.
Meski demikian. Penggunaan awal
sekaligus penyebarluasan istilah birokrasi justru dilakukan novelis. Balsac
salah seorang yang paling bertangung jawab dan konsisten dalam penyebaran
istilah ini lewat novelnya les employes (1983).
Birokrasi yang dalam bahasa inggris, beraucracy, berasal dari kata berau (berarti : :meja) dan cratein (berarti:kekuasaan), dikamsudkan
kekuasaan berada pada orang-orang yang berada dibelakang meja. Dan di Indonesia
sendiri cenderung dikonotasikan sebagaimana telah digambarkan seperti diatas.
Menurut
Bintoro Tjokroamidjojo (1984) birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara
teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang banyak.
Artinya
dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar dapat
diselesaikan secara cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang
banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi
tumpang tindih didalam penyelesaiannya, itulah yang memang sebenarnya menjadi
tugas dalam birokrasi sendiri.
Belau dan Page (1956) mengemukakan
tentang birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk
mencapai tugas-tugas yang berhubungan dengan administratif yang besar dengan
cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.
Jadi menurut belau dan page, birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip
organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun
kadangkala didalam pelaksanaanya birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya
ketidakefisiensian.
Ismani dengan
mengutif pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001) mengemnukakan bahwa birokrasi
terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organiasai dan proses berasarkan
pengetahuan teknis dengan efisiensi dan setinggi-tingginya, dari pangdangan
yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menggangap birokrasi itu jelek dan
tidak efisien.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut
diatas, dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah suatu prosedur yang efektif dan
efisien yang didasari oleh teori dan aturan yang berlaku serta memiliki
spesialisasi menurut tujuan yang telah ditetepkan oleh organisasi/institusi
BAB
III
PEMBAHASAAN
Berdasarkan urian
diatas, bahwa birokrasi dimaksudkan sebagai kekuasaan dipegang oleh orang-orang
yang berada dibelakang meja, karena segala sesuatu diatur secara legal dan
formal oleh para birokrat. Namun demikian diharapkan pelaksanaan kekuasaan
tersebut dapat dipertangung jawabkan dengan jelas, karena setiap jabatan diurus
oleh (petugas) yang khusus.
Seperti yang dinyatakan
oleh belau dan page diatas, bahwa birokrasi dimaksudkan untuk melaksanakan
tugas-tugas administratif yang besar. Hal itu hanya dapat berlaku pada
organisasi besar seperti organisasi pemerintahan, karena pada organisasi
pemerintahan segala sesuatunya diatur secara formal. Selama ini banyak pakar
yang meneliti yang menulis tentang birokrasi bahwa fungsi dari staf pegawai
administrasi harus memiliki cara-cara yang spesifik agar lebih efektif dan
efisien.
(Syafiie menyebutkan
dalam bukunya, 2004:90). Bahwa ada beberapa prinsip dasar dalam birokrasi yang
ideal, sebagai berikut :
1.
|
Kerja
yang ketat pada perataturan
|
2.
|
Tugas
yang khusus
|
3.
|
Kaku
dan sederhana
|
4.
|
Penyelenggaraan
yang resmi
|
5.
|
Pengaturan
dari atas ke bawah
|
6.
|
Berdasarkan
logika
|
7.
|
Tersentralistik
|
8.
|
Taat
dan patuh
|
9.
|
Tidak
melanggar ketentuan
|
10.
|
Terstruktur
|
11.
|
Tanpa
pandang bulu
|
Hal-hal
diatas merupakan prinsip daasr dan karakteristik yang ideal dari suatu
birokrasi. Karakteristik tersebut idealnya memang dimiliki oleh para birokrat
(pegawai negeri sipil) tidak lain agar tugas-tugas administrasi yang besar
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien sehinga tujuan organisasi dapat
tercapai sesuai yang direncanakan. Dengan demikian pendapat sebagian masyarakat
selama ini yang cenderung negatif paling tidak dapat diluruskan.
Dengan mengutip pendapat Max Weber
seorang sosiolog Jerman.
Tjokroamidjojo
(1984:72-73) mengemukakan ciri-ciri utama dari struktur birokrasi dialam tipe
idealnya adalah sebagai berikut :
Ø Prinsip
pembagian kerja
Kegiatan-kegiatan reguler yang
diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dibagi didalam cara-cara
yang tertentu sebagai tugas-tugas jabatan. Dengan adanya prinsip pembagian
kerja yang jelas ini dimungkinkan pelaksanaan pekerjaan oleh tenaga-tenaga
spesialisasi dalam setiap jabatan, sehingga pekerjaan akan dapat dilaksanakan
dengan tangung jawab penuh dan efektif.
Ø Struktur
Hirarkis
Pengorganisasian jabatan-jabatan
mengikuti prinsip hirarkis, yaitu jabatan yang lebih rendah berada dibawah
pengawasan atau pimpinan dari jabatan yang lebih diatas. Pejabat yang lebih
rendah kedudukanya harus mempertangung jawabkan setiap keputusanya kepada
pejabat atasanya
Ø Aturan
dan prosedur
Pelaksanaan kegiatan pada dasarnya
didasarkan pada suatu sistem peraturan yang konsisten. Sistem standar tersebut
dimaksudkan untuk menjamin adanya keseragaman pelaksanaan setiap tugas dan
kegiatan tanpa melihat pada jumlah orang yang terlibat didalamnya.
Ø Prinsip
netral
Pejabat yang ideal dalam suatu
birokrasi melaksanakan kewajiban didalam semangat (formal non pribadi), artinya
tanpa perasaan simpati atau tidak simpati. Dalam prinsip ini seorang pejabat
didalamnya menjalankan tugas jabatanya terlepas dari pertimbangan yang bersifat
pribadi, dengan menghilangkan pertimbangan yang bersifat pribadi dalam urusan
jabatan. Berarti suatu prakondisi untuk sikap tidak memihak dan juga untuk
efisiensi.
Ø Penempatan
didasarkan atas karir
Penempatan kerja didalam organisasi
birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi terhadap
pemberhentian sewenang-wenang didalam suatu organisasi birokrasi, penempatan
kerja seorang pegawai didasarkan atas karier. Ada sistem promosi, entah atas
dasar senioritas atau prestasi atau kedua-duanya. Kebijaksanaan kepegawaian
demikian dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas kepada organisasi dan
tumbuhnya “espirit de corps” atau
jiwa korupsi diantara para anggotanya.
Ø Birokrsi
murni
Pengalaman menunjukan bahwa
birokrasi yang murni dari satu organisasi administrasi dilihat dari segi teknis
akan dapat memenuhi efisiensi tingkat tinggi. Mekanisme birokrasi yang
berkembang sepenuhnya akan lebih efisien dari pada organisasi yang tidak
seperti itu atau tidak jelas birokrasinya seperti pada prosedur.
Berdasarkan pengertian birokrasi
yang menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi-organisasi yang didirikan
secara resmi dan dibentuk untuk memaksimumkan efisiensi administrasi dalam
pemerintah dan pembangunan yang menyangkut kelembagaan, aparat, sistem dan
prosedur merupakan suatu kelompok khusus dalam masyarakat yang memiliki
cita-cita dan nilai-nilai bersama. Selain itu juga sebagai suatu kelompok yang
mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu mempunyai tangung jawab yang
khusus.
Dikaitkan
dengan etika, maka ketentuan yang dibuat itu disebut dengan kode etik. Dan kode
etik sendiri dapat mengimbangi segi negatif dari terbentuknya suatu kelompok
yang memiliki kekuasaan khusus tersebut. Kode etik dapat memperkuat kepercayaan
masyarakat dan mendapat kepastian bahwa kepentingan terjamin. Jadi kode etik
ibarat kompas yang menunjukan arah moral dan menjamin mutu kelompok tersebut
dalam hal ini kelompok birokrasi dalam pemerintahan dimata masyarakat.
Agar
pelaksanaan kode etik dengan baik maka pelaksanaanya diawasi terus menerus da
kode etik mengandung sangsi pagi pelanggar kode etik. Bila terjadi kasus
pelanggaran kode etik akan dinilai dan ditindak oleh “suatu dewan kehormatan”
atau komisi yang dibentuk khusus untuk keperluan itu.
Didalam
penerapan etika birokrasi dalam pemerintahan telah dituangka kedalam kode etik
Pegawai Negeri Sipil dalam PP No 42 Tahun 2004 dan pedoman umum dalam
penyelenggaraan pelayanaan publik dalam keputusan menteri pendayagunaan
aparatur Negara No. 63/KEP/M.PAN/7/2003.
Demikian
pula dengan jabatan, dalam organisasi apapun termasuk organisasi pemerintah,
jabatan tidak bisa dilepaskan dari peran jabatan didalam organisasi tersebut,
oleh karena itu, setiap pejabat dalam organiasai pemerintah mulai dari level eselon IV, eselon III sampai dengan eselon
I, tentunya terikat pada hal-hal yang berkaitan dengan apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan sesuai dengan posisi dan
jabatanya. Ketentuan-ketentuan tersebut dijabarkan dalam kode etik pegawai .
Pada umunya, penyusunan kode etik
minimal didasari oleh 4 aspek pertimbangan sebagai berikut :
1.
Profesionalisme
Keahlian
khusus yang dimiliki oleh seseorang baik yang diperolehnya dari pendidikan
formal (dokter, akuntan, pengacara dll), dari bakat (penyanyi, pelukis, pianis
dll), serta dari kompetensi mengerjakan sesuatu (direktur, pegawai, pejabat
dll).
2.
Akuntabilitas
Kesangupan
seseorang untuk mempertangungjawabkan apapun yang dilakukanya berkaitan dengan
profesi serta peranya sehingga ia dapat dipercaya. Misalnya seorang auditor
yang memeriksa laporan keuangan sebuah perusahan. Ia harus dapat memeprtangung
jawabkan hasil pemeriksaaan yang dibuatnya sesuai dengan kondisi perusahaan
yang sebenarnya.
3.
Menjaga kerahasiaan
Sebuah
kemampuan memelihara kepercayaan dengan bersikap hati-hati dalam memberikan
informasi. Seorang fropesional harus mampu menyeleksi hal-hal yang bisa
diinformasikan kepada umum dan informasi yang perlu disimpan sebagai sebuah
kerahasiaan. Hal ini dilakukan demi menjaga reputasi sebuah perusahaan dan
fropesi yang dijabatnya. Misalnya seorang konsultan adalah seorang kepercayaan
sebuah perusahaan, ia bisa mengetahui seluruh seluk beluk rahasia perusahaan,
tapi harus menjaga informasi yang dimilikinya agar tidak sampai ke pihak luar
yang tidak berkepentingan.
4.
Dependensi
Sifat netral,
tidak memihak salah satu pihak, menyedari batasan-batasan dalam mengungkapkan
sesuatu juga merupakan salah satu pertimbangan kode etik. Misalnya, untuk
mendamaikan dua pihak yang berselisih dan merugikan perusahaan. Seorang menejer
yang bisa menjaga sikap independenya akan lebih dipercaya oleh kedua pihak
sehingga akan sangat membantu dalam penyelesaian kasus perselisihan yang
dihadapinya. Prinsip lain yang juga bisa dijadikan parameter dalam pelaksanaan
birokrasi dapat merujuk pada prinsip-prinsip good Governance yang meliputi :
Pertama
partisipasi masyarakat, kedua, tegaknya supermasi hukum, ketiga, tranparansi,
keempat kepedulian kepada stakholder, kelima berorientasi pada konsensus,
keenam kesetaraan, ketujuh, efektifitas dan efesiensi, kedelapan akuntabilitas
dan kesembilan visi strategis
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Birokrasi
merupakan pelayan publik, maka dari itu bahwa birokrasi sendiri mesti bersikap
netral dalam setiap hal. Demi terlaksananya pelayanan dengan baik kepada
masyarakat. Terlepas dari hal itu agar supaya pelayan publik itu bersikap
disiplin maka salah satunya dengan menerapkan kode etik yang menjadi landasan
atau dasar hukum/aturan bagi para pelaksana birokrasi sendiri.
Sehingga
fropesionalisme kerja akan dapat terlihat apabila kode etik sendiri dapat
dilaksanakan dan dipatuhi. Sehingga pandangan masyarakat luas terhadap
bobroknya cultur birokrasi sendiri akan sedikit terluruskan.
4.2 Saran
Berdasarkan
hasil pembahasaan yang telah diuraikan, maka ada beberapa hal yang harus
diluruskan diantaranya banyak dari para pelaksana birokrasi terkadang karena
ketidak fropseionalismean mereka dalam bekerja diantaranya ketidak sesuaian
atas latar belakang pendidikan mereka, sehingga mereka terkadang tidak memahami
apa yang harus di kerjakan dalam hal pelayanan terhadap publik. Serta kurang
tegasnya peraturan yang mengatur tentang pelaksana birokrasi, sehingga mereka
dalam memainkan kepentingan pribadi lebih mudah yang berdampak pada pelayanaan
yang seharusnya jauh lebih efisien menjadi ngaret.
DAFTAR PUSTAKA
---
Rahman. A. H.I. SISTEM POLITIK INDONESIA Graha Ilmu. 2007
----
Toha Miftah. Birokrasi Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi. Media
Group.
----
www.wikipedia.com